Cara Menghitung Metode LIFO untuk Akuntansi Persediaan Barang
|Kamu pernah merasa pusing ngitung persediaan barang karena harganya berubah-ubah kayak cuaca? Saya juga pernah, dan percayalah… itu bukan cuma Kamu! Di dunia akuntansi, ada banyak metode yang bisa digunakan buat menilai persediaan, tapi satu yang sering bikin penasaran (dan kadang bikin garuk-garuk kepala) adalah metode LIFO.
LIFO itu singkatan dari Last In, First Out, alias barang yang terakhir masuk, itulah yang pertama keluar. Kedengarannya simpel, tapi waktu udah masuk ke perhitungan dan jurnal, bisa bikin jari kalkulator panas. Nah, karena saya juga pernah jungkir balik belajar metode ini, di artikel ini saya mau bantu Kamu memahami cara menghitung metode LIFO, dari pengertian, fungsi, sampai contoh soal yang nyata dan gampang diikuti.
Kalau Kamu sedang belajar akuntansi, lagi ngurus laporan keuangan usaha kecil, atau cuma pengen tahu gimana caranya LIFO memengaruhi laba dan pajak, artikel ini bisa jadi teman ngobrol Kamu. Saya akan bahas semuanya dengan bahasa yang gampang dicerna, tanpa istilah yang bikin kening berkerut.
Dan tenang, di akhir nanti saya kasih juga cara menghitung LIFO secara praktis, bahkan bisa Kamu terapkan langsung — jadi bukan cuma teori. Siap? Yuk, kita gali bareng!

Daftar Isi
Cara Kerja Metode LIFO
Sekarang kita masuk ke bagian yang sering bikin dahi berkerut: gimana sih cara kerja metode LIFO secara teknis?
Bayangkan Kamu punya gudang kecil. Kamu beli barang secara bertahap—misalnya beli stok barang A di awal bulan seharga Rp10.000, lalu seminggu kemudian beli lagi stok yang sama seharga Rp12.000. Nah, ketika ada penjualan, metode LIFO akan mengambil harga pembelian terakhir (yang Rp12.000) dulu untuk dicatat sebagai harga pokok penjualan (COGS).
Inilah prinsip dasarnya: barang terakhir yang masuk, itulah yang pertama keluar. Jadi, LIFO enggak peduli barang mana yang secara fisik duluan masuk atau keluar—yang penting di catatan akuntansi, harga yang terakhir dibeli itulah yang dipakai duluan. Inilah kenapa disebut Ilustrasi mekanisme LIFO.
Untuk pencatatannya, Kamu bisa pakai dua sistem: periodik (dihitung di akhir periode) atau perpetual (dicatat setiap kali transaksi terjadi). Di sistem perpetual, proses pencatatan lebih detail karena harga setiap pembelian terakhir langsung memengaruhi perhitungan COGS saat penjualan terjadi. Sedangkan di sistem periodik, semuanya dihitung setelah akhir periode, jadi lebih simpel… tapi bisa bikin Kamu kebingungan kalau enggak hati-hati nyusun data.
Nah, buat lebih kebayang, saya nanti akan tunjukkan langkah demi langkah proses pencatatan LIFO pakai tabel dan contoh soal. Tapi untuk saat ini, cukup pahami dulu bahwa:
- Barang terakhir = yang pertama dicatat keluar.
- Harga terbaru = yang dipakai duluan untuk menghitung COGS.
- Akun persediaan = bakal nyisain stok dari pembelian-pembelian lama.
- Nilai persediaan akhir = biasanya lebih rendah kalau harga terus naik.
Mekanismenya mungkin terdengar kaku, tapi setelah Kamu ngerti alurnya, justru terasa logis dan bisa dipakai untuk manajemen laba dan strategi pajak.
Fungsi Metode LIFO
Mungkin Kamu bertanya, “Oke, saya sudah paham cara kerja LIFO… tapi sebenarnya apa sih fungsi utama metode LIFO dalam akuntansi?” Nah, ini pertanyaan yang penting banget, terutama kalau Kamu sedang mempertimbangkan metode ini untuk bisnis atau laporan keuangan.
Secara garis besar, fungsi LIFO itu ada di tiga area utama:
- Penilaian Persediaan,
- Manajemen Laba dan Pajak, dan
- Strategi Manajemen Persediaan.
Pertama, dari sisi penilaian persediaan, LIFO membantu perusahaan mencatat nilai akhir stok berdasarkan harga lama. Jadi, kalau harga barang naik, nilai persediaan akhir akan tampak lebih kecil — dan itu bisa berpengaruh di laporan neraca.
Kedua, dari segi manajemen laba, metode LIFO bisa menurunkan laba bersih di laporan keuangan. Loh, kok malah nurunin laba? Tenang, ini bukan hal buruk — malah bisa jadi strategi untuk mengurangi beban pajak. Karena semakin tinggi COGS (harga pokok penjualan), maka laba kena pajak akan lebih rendah. Ini sangat berguna di masa inflasi atau saat harga bahan baku naik terus.
Ketiga, LIFO juga berperan dalam manajemen persediaan. Perusahaan yang stok barangnya cepat berubah harga (seperti retail elektronik, logistik, atau bahan pokok industri) kadang lebih cocok pakai LIFO karena lebih mencerminkan kondisi biaya saat ini.
Tapi ingat, meskipun fungsinya menarik, LIFO juga tidak selalu cocok untuk semua jenis usaha. Beberapa negara bahkan tidak mengizinkan penggunaan metode ini dalam pelaporan pajak. Di Indonesia sendiri, kita mengacu pada PSAK 14, yang perlu Kamu perhatikan baik-baik jika mau mengaplikasikan LIFO.
Kesimpulannya, fungsi LIFO bukan hanya soal “teknik akuntansi”, tapi juga alat bantu untuk menyusun strategi finansial perusahaan.
Rumus Perhitungan Metode LIFO
Sekarang kita masuk ke bagian yang lebih teknikal tapi tetap saya usahakan semudah mungkin buat Kamu pahami. Jadi, gimana sih rumus metode LIFO itu sebenarnya?
Sebenarnya, nggak ada satu rumus sakti yang baku, karena LIFO lebih ke arah logika urutan pencatatan daripada rumus matematis murni. Tapi secara umum, ini konsep dasarnya:
📌 HPP (Cost of Goods Sold / Harga Pokok Penjualan)
= Unit penjualan × Harga pembelian terakhir (Last In)
📌 Persediaan Akhir (Ending Inventory)
= Total unit sisa × Harga pembelian awal (karena yang lama belum keluar)
Contoh alurnya kira-kira seperti ini:
- Catat semua pembelian barang secara kronologis, lengkap dengan kuantitas dan harga.
- Saat terjadi penjualan, ambil unit dari pembelian terakhir terlebih dahulu (Last In).
- Hitung COGS berdasarkan unit yang dijual × harga dari pembelian terakhir.
- Sisanya yang belum dijual dianggap sebagai persediaan akhir, dan nilainya berdasarkan harga pembelian paling awal yang masih tersisa.
Misalnya:
- Stok Awal: 100 unit @ Rp10.000
- Beli lagi: 100 unit @ Rp12.000
- Penjualan: 150 unit
Maka yang diambil untuk menghitung HPP adalah:
- 100 unit dari pembelian terakhir @Rp12.000
- 50 unit dari pembelian sebelumnya @Rp10.000
Total HPP = (100 × 12.000) + (50 × 10.000) = Rp1.700.000
Sisa persediaan akhir = 50 unit dari pembelian awal @ Rp10.000 = Rp500.000
Nah, logika itulah yang membentuk dasar perhitungan metode LIFO, baik secara manual atau pakai sistem. Dan kalau Kamu paham langkah-langkah ini, rumus LIFO sebenarnya terasa cukup logis — asal urutannya nggak ketuker!
Contoh Perhitungan Metode LIFO (Last In First Out) dalam Persediaan Barang
Metode LIFO (Last In, First Out) berarti barang terakhir masuk akan dijual terlebih dahulu. Ini kebalikan dari FIFO yang menjual barang paling awal. Gaya pencatatan ini sering digunakan saat harga barang cenderung naik, karena HPP (Harga Pokok Penjualan) akan mencerminkan harga terbaru yang biasanya lebih tinggi. Berikut ini kita bahas contoh sederhana bagaimana metode LIFO bekerja dengan alur transaksi persediaan.
Gambaran Singkat Metode LIFO
Bayangkan Anda punya toko yang menjual barang. Dengan metode LIFO, barang yang baru dibeli (baru masuk gudang) dianggap terjual lebih dulu ketika ada penjualan. Jadi persediaan yang tersisa di gudang adalah barang-barang lama yang belum sempat terjual. Metode ini akan memengaruhi HPP (Harga Pokok Penjualan) dan nilai persediaan akhir. Mari kita lihat contohnya.
Data Transaksi Persediaan (Contoh Kasus)
Misalkan Toko ABC memiliki data persediaan dan transaksi berikut:
Tanggal | Transaksi | Kuantitas (unit) | Harga per Unit | Total Biaya (Rp) |
---|---|---|---|---|
1 Jan | Stok Awal | 100 unit | Rp 10.000 | Rp 1.000.000 |
5 Jan | Pembelian 1 | 50 unit | Rp 12.000 | Rp 600.000 |
10 Jan | Pembelian 2 | 75 unit | Rp 15.000 | Rp 1.125.000 |
15 Jan | Penjualan | 175 unit | – | (akan dihitung HPP-nya) |
Keterangan:
- Stok awal 1 Jan: Terdapat 100 unit barang dengan harga per unit Rp 10.000.
- Pembelian 1 pada 5 Jan: Menambah 50 unit baru dengan harga Rp 12.000 per unit.
- Pembelian 2 pada 10 Jan: Menambah 75 unit lagi dengan harga Rp 15.000 per unit.
- Penjualan pada 15 Jan: Terjadi penjualan 175 unit barang. (Misalnya ada pembeli borong barang kita 😆)
Total barang yang tersedia sebelum penjualan = 100 + 50 + 75 = 225 unit. Saat terjual 175 unit, sisa persediaan akhir akan jadi 50 unit (225 – 175).
Penerapan LIFO saat Penjualan
Nah, sekarang terjadi penjualan 175 unit. Bagaimana kita menentukan HPP penjualan tersebut dengan metode LIFO? Caranya, kita anggap 175 unit yang terjual diambil dari stok terbaru dulu. Mari kita ikuti langkah demi langkah:
- Ambil dari Pembelian Terakhir terlebih dahulu:
Pembelian terakhir (10 Jan) punya 75 unit seharga Rp 15.000. Penjualan 175 unit akan diambil dari sini dulu.- Terjual dari Pembelian 2: 75 unit × Rp 15.000 = Rp 1.125.000.
Setelah ini, penjualan tersisa 175 – 75 = 100 unit lagi yang belum terpenuhi, dan stok Pembelian 2 habis (0 unit tersisa).
- Terjual dari Pembelian 2: 75 unit × Rp 15.000 = Rp 1.125.000.
- Lanjut ke Pembelian sebelumnya:
Masih perlu memenuhi penjualan 100 unit lagi. Berikutnya kita ambil dari Pembelian 1 (5 Jan), karena itu stok terbaru berikutnya. Pembelian 1 punya 50 unit seharga Rp 12.000.- Terjual dari Pembelian 1: 50 unit × Rp 12.000 = Rp 600.000.
Sekarang total yang terjual = 75 + 50 = 125 unit, masih kurang 175 – 125 = 50 unit lagi. Stok Pembelian 1 juga habis (0 unit tersisa).
- Terjual dari Pembelian 1: 50 unit × Rp 12.000 = Rp 600.000.
- Terakhir, ambil dari Stok Awal:
Sisanya 50 unit penjualan akan diambil dari stok yang paling lama, yaitu Stok Awal (1 Jan). Stok awal awalnya 100 unit @ Rp 10.000, masih ada cukup karena baru terpakai sekarang.- Terjual dari Stok Awal: 50 unit × Rp 10.000 = Rp 500.000.
Setelah ini, penjualan 175 unit terpenuhi seluruhnya (75+50+50 = 175). Stok awal tersisa 50 unit (100-50).
- Terjual dari Stok Awal: 50 unit × Rp 10.000 = Rp 500.000.
Mari kita rekap penjualan berdasarkan sumber stoknya:
- Dari Pembelian 2 (harga terbaru Rp 15.000): 75 unit terjual ⇒ biaya Rp 1.125.000
- Dari Pembelian 1 (harga sebelum terakhir Rp 12.000): 50 unit terjual ⇒ biaya Rp 600.000
- Dari Stok Awal (harga paling lama Rp 10.000): 50 unit terjual ⇒ biaya Rp 500.000
Menghitung HPP dan Persediaan Akhir (Metode LIFO)
Setelah tahu dari mana saja barang terjual, kita bisa hitung Harga Pokok Penjualan (HPP) total dan nilai persediaan akhir:
- HPP (LIFO) = Biaya dari Pembelian 2 + Pembelian 1 + Stok Awal (yang terjual)
= Rp 1.125.000 + Rp 600.000 + Rp 500.000
= Rp 2.225.000. Ini adalah total biaya dari 175 unit barang yang terjual (sesuai metode LIFO, yang dihitung menggunakan harga barang terbaru lebih dulu). - Persediaan Akhir (setelah penjualan) – Dengan LIFO, sisa stok adalah barang yang tidak sempat terjual, yaitu barang yang lebih lama masuk:
- Dari Stok Awal tadi masih tersisa 50 unit (karena stok awal 100 unit, sudah terjual 50). Harga per unit Rp 10.000.
- Tidak ada sisa dari Pembelian 1 dan 2, karena sudah habis terjual lebih dulu.
Jadi, nilai persediaan akhir = 50 unit × Rp 10.000 = Rp 500.000.
Untuk memperjelas, berikut rangkuman hasil akhirnya:
- HPP (Harga Pokok Penjualan) dengan LIFO: Rp 2.225.000
- Nilai Persediaan Akhir: Rp 500.000 (50 unit @ Rp 10.000, yaitu sisa dari stok awal)
Penjelasan Tambahan
Dalam contoh di atas, terlihat bahwa metode LIFO membuat HPP lebih tinggi dibanding metode lain (misalnya FIFO) jika harga barang cenderung naik. Mengapa? Karena yang dihitung terjual terlebih dahulu adalah barang-barang dengan harga pembelian terbaru yang lebih mahal. Akibatnya, laba kotor di laporan keuangan akan lebih rendah (karena biaya lebih tinggi), tetapi ada kelebihan juga: nilai persediaan akhir menjadi lebih rendah, sehingga potensi pajak bisa lebih kecil pada periode tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa metode LIFO di Indonesia sudah tidak diperbolehkan menurut standar akuntansi (PSAK) yang berlaku saat ini. Meski begitu, memahami LIFO tetap berguna untuk pengetahuan atau jika berhadapan dengan laporan keuangan lama yang pernah menggunakan metode ini.
Semoga contoh di atas membantu! Dengan penjelasan santai ini, diharapkan pembaca awam bisa menangkap cara kerja LIFO. Intinya, selalu ingat: Last In, First Out – barang terakhir masuk, pertama keluar. Kalau masih bingung, coba baca ulang langkah-langkahnya pelan-pelan. Selamat belajar akuntansi persediaan! 📚💡
Contoh Soal dan Jawaban Metode LIFO
Nah, setelah Kamu paham konsep dan cara kerja LIFO, sekarang saatnya kita latihan soal biar makin nempel di kepala. Saya akan kasih satu contoh soal sederhana, lengkap dari transaksi pembelian hingga perhitungan HPP dan nilai persediaan akhir. Formatnya seperti yang biasa muncul di soal akuntansi — tapi tenang, kita bahas santai aja kok.
📘 Soal:
PT. Kumacart melakukan transaksi persediaan selama bulan Januari sebagai berikut:
- 1 Jan: Stok awal 80 unit @Rp10.000
- 3 Jan: Pembelian 50 unit @Rp11.000
- 7 Jan: Pembelian 70 unit @Rp12.000
- 10 Jan: Penjualan 150 unit
Diminta:
Hitunglah:
- Harga Pokok Penjualan (HPP) menggunakan metode LIFO.
- Nilai persediaan akhir.
- Buat jurnal pencatatan HPP dan persediaan akhir.
🧠 Jawaban:
Langkah 1: Hitung Total Unit Sebelum Penjualan
80 (stok awal) + 50 + 70 = 200 unit tersedia
Penjualan: 150 unit, berarti persediaan akhir tinggal 50 unit.
Langkah 2: Hitung HPP (LIFO = ambil dari yang terakhir dibeli)
Sumber | Unit Terjual | Harga Satuan | Total Biaya |
---|---|---|---|
Pembelian 7 Jan | 70 unit | Rp12.000 | Rp 840.000 |
Pembelian 3 Jan | 50 unit | Rp11.000 | Rp 550.000 |
Stok Awal | 30 unit | Rp10.000 | Rp 300.000 |
Total HPP | 150 unit | — | Rp1.690.000 |
Langkah 3: Hitung Persediaan Akhir (yang belum terjual)
Dari stok awal tersisa 80 – 30 = 50 unit, masih ada.
- 50 unit @Rp10.000 = Rp500.000
[Penjualan terjadi]
Tidak ada jurnal persediaan langsung dalam sistem periodik.
[Penyesuaian akhir periode – pencatatan HPP]
Harga Pokok Penjualan Rp 1.690.000
Persediaan Barang Rp 1.690.000
[Penyesuaian nilai persediaan akhir]
Persediaan Akhir Rp 500.000
Persediaan Barang Rp 500.000
✅ Kesimpulan:
- HPP (LIFO) = Rp1.690.000
- Persediaan akhir = Rp500.000
- Unit tersisa = 50 unit dari stok awal
- Dengan metode LIFO, perusahaan memakai harga tertinggi duluan, sehingga HPP tinggi dan laba lebih kecil (kalau penjualannya tetap).
Kelebihan dan Kekurangan Metode LIFO
Kalau Kamu sudah mulai paham cara kerja LIFO, pertanyaan berikutnya biasanya begini: “Oke, jadi sebenarnya bagus nggak sih pakai metode LIFO ini?” Nah, daripada bingung, saya akan bantu Kamu melihatnya dari dua sisi — kelebihan dan kekurangan — biar Kamu bisa menilai dengan jernih.
Mari kita pakai gaya analisis ringan ala SWOT, tapi disesuaikan untuk konteks akuntansi:
✅ Kelebihan Metode LIFO
- Menyesuaikan dengan Harga Terbaru (Current Cost)
Karena barang yang terakhir dibeli (harga terbaru) langsung dicatat sebagai HPP, maka laporan laba rugi mencerminkan biaya aktual saat ini. Cocok untuk kondisi inflasi. - Mengurangi Laba Kena Pajak
HPP lebih tinggi = laba bersih lebih kecil = beban pajak lebih rendah. Ini strategi legal yang sering dipakai untuk efisiensi pajak, terutama di negara yang mengizinkan penggunaan LIFO. - Manajemen Laba yang Lebih Fleksibel
Dalam situasi tertentu, manajemen bisa menggunakan LIFO untuk mengatur timing pengakuan laba, terutama bila ingin menekan laporan keuntungan demi alasan strategi (misalnya IPO, efisiensi pajak, atau menjaga stabilitas dividen). - Nilai Barang Lama Tidak Terus-Menerus Mengendap
Karena LIFO terus memakai harga baru sebagai prioritas, maka harga pokok penjualan mencerminkan biaya terkini, bukan biaya lama yang sudah tidak relevan.
❌ Kekurangan Metode LIFO
- Tidak Diizinkan dalam PSAK (Indonesia)
Menurut standar akuntansi keuangan di Indonesia (PSAK 14), LIFO tidak diperbolehkan lagi. Jadi meskipun menarik secara teori, Kamu tetap harus tunduk pada aturan yang berlaku. - Nilai Persediaan Akhir Jadi Terlalu Rendah
Karena yang terjual selalu harga terbaru, sisa persediaan akan tercatat berdasarkan harga lama. Ini bisa menyebabkan persediaan terlihat undervalued di neraca. - Tidak Mencerminkan Alur Fisik Barang
Dalam banyak bisnis (misalnya makanan, farmasi), secara fisik yang keluar adalah barang paling lama. Jadi penggunaan LIFO bisa tidak realistis dan malah menyulitkan pengawasan persediaan. - Laporan Keuangan Kurang Stabil
Karena memakai harga terbaru untuk HPP, fluktuasi harga bisa bikin laporan keuangan jadi bergejolak, apalagi kalau perusahaan tidak punya sistem pencatatan yang rapi.
🤔 Jadi, Kapan LIFO Cocok Dipakai?
Kalau perusahaan Kamu beroperasi di negara yang mengizinkan LIFO, terutama di industri dengan harga barang yang sangat fluktuatif dan ingin strategi efisiensi pajak — maka LIFO bisa jadi pilihan. Tapi jika Kamu perlu laporan yang mencerminkan nilai persediaan realistis di neraca, atau berada di negara dengan aturan ketat (seperti Indonesia), maka sebaiknya gunakan metode lain seperti FIFO atau average.
Perbedaan LIFO vs FIFO
Kalau Kamu sudah belajar metode LIFO, pasti akan muncul satu pertanyaan klasik: “Bedanya sama FIFO apa, sih?” Nah, dua metode ini sebenarnya sama-sama digunakan untuk menilai persediaan dan menghitung harga pokok penjualan (HPP), tapi pendekatannya berbanding terbalik.
Agar Kamu mudah membandingkan, saya susun perbedaan LIFO vs FIFO secara ringkas tapi padat — lengkap dengan tabel supaya makin jelas!
🔁 Pengertian Singkat
Metode | Prinsip Dasar |
---|---|
LIFO | Last In, First Out → Barang terakhir masuk dijual duluan |
FIFO | First In, First Out → Barang pertama masuk dijual duluan |
📊 Tabel Perbandingan LIFO vs FIFO
Aspek | LIFO (Last In, First Out) | FIFO (First In, First Out) |
---|---|---|
Barang yang dijual | Barang terbaru (terakhir dibeli) | Barang lama (yang duluan dibeli) |
Persediaan akhir | Berdasarkan harga lama | Berdasarkan harga terbaru |
Harga Pokok Penjualan | Lebih tinggi (jika harga naik) | Lebih rendah (jika harga naik) |
Laba bersih | Cenderung lebih rendah (karena HPP tinggi) | Cenderung lebih tinggi (karena HPP rendah) |
Dampak pajak | Pajak lebih rendah karena laba kecil | Pajak lebih besar karena laba lebih tinggi |
Kesesuaian alur fisik | Kurang cocok dengan alur barang nyata (misalnya makanan) | Lebih sesuai dengan alur barang fisik |
Laporan keuangan | Bisa terlihat kurang realistis di neraca | Lebih mencerminkan nilai pasar saat ini |
Kebijakan PSAK (Indonesia) | Tidak diizinkan | Dianjurkan (FIFO & rata-rata) |
🔍 Ilustrasi Kasus Sederhana
Misalnya:
- Stok awal: 100 unit @ Rp10.000
- Pembelian baru: 100 unit @ Rp12.000
- Penjualan: 100 unit
Dengan LIFO → Barang yang terjual diambil dari pembelian terbaru (100 × Rp12.000 = Rp1.200.000)
Dengan FIFO → Barang yang terjual diambil dari stok awal (100 × Rp10.000 = Rp1.000.000)
Selisih HPP: Rp200.000
Kalau dikalikan dengan ratusan atau ribuan transaksi? Bisa berdampak besar ke laporan laba dan pajak 😅
Jadi, Siap Terapkan Metode LIFO? Atau Butuh Alat Bantu yang Lebih Cerdas?
Setelah Kamu menyimak cara kerja LIFO, menghitung HPP, sampai membandingkannya dengan FIFO — saya yakin sekarang Kamu sudah punya gambaran yang cukup jelas. Mulai dari rumus, contoh soal, sampai plus-minusnya. Tapi kalau saya boleh jujur, teori dan latihan itu baru setengah jalan. Yang paling menantang justru ketika Kamu harus mengolah data persediaan nyata dalam bisnis sehari-hari.
Ngitung manual boleh, tapi kalau bisnis Kamu udah makin sibuk dan jumlah transaksi makin banyak, saya sarankan Kamu pertimbangkan tools digital yang bisa bantu Kamu lebih cepat dan akurat.
LIFO (Last In, First Out) adalah metode penilaian persediaan di mana barang yang terakhir dibeli dianggap sebagai barang yang pertama dijual atau dikeluarkan.
HPP dihitung berdasarkan harga pembelian terbaru. Barang yang paling akhir dibeli digunakan lebih dulu dalam perhitungan saat terjadi penjualan.
LIFO memakai barang terakhir masuk terlebih dahulu, sedangkan FIFO memakai barang pertama yang masuk terlebih dahulu. Perbedaan ini berdampak pada nilai persediaan akhir dan laba bersih.
LIFO bisa menekan laba bersih di tengah inflasi sehingga membantu menurunkan beban pajak. Juga mencerminkan harga pokok penjualan yang lebih mendekati harga pasar terkini.
Menurut PSAK 14 (standar akuntansi yang berlaku di Indonesia), metode LIFO tidak diperbolehkan. Namun metode ini masih digunakan di beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat.